Kamis, 13 Agustus 2015

CURAHAN HATI-just myself- || ChocoCandy Ghiffa

Melihatmu, aku seperti mengenang untaian kisah di masa lalu.
Meski aku tahu bahwa, semua berjalan belum terlalu lama.
Hal-hal yang terjadi sangat banyak, namun yang muncul di otakku hanya sebaris cerita lama yang mulai pudar.
Aku mulai bertanya, apa benar aku mencintaimu?
Tak pantas kata itu melantun dengan damai.
Malu aku di buat alang kepalang saat aku mematut diri di depan cermin bahwa jilbabku kini sudah semakin menjuntai panjang..

Aku tak mendapat kabarmu seminggu.
Aku tak bersua denganmu berbulan-bulan.
Aku harap, rasa yang tak pantas datang akan segera sirna termakan waktu selagi belum ada kehalalan diantara kita..

Katamu, jangan pernah bohongi perasaan dan kekecewaan. Tapi aku keras kepala!
Bersikeras aku menjaga dan bohongi apa yang pernah hadir.
Sadarkah engkau, akhi?
Sulitnya aku untuk menghindari dan menahan semua.
Bahwa aku sama sekali tidak ingin terlihat lucu seperti mereka.
Aku berusaha untuk menjaga agar pakaianku segera kaffah.
Tapi mana azamku untuk mengkaffahkan agamaku?!
Menyadari akan itu, berarti aku belum menata hati agar aku bisa mencintai-Nya dengan utuh.

Saat kau bicara kalau kaulah yang akan menjadi imamku nanti.
Aku tetap sulit menerima, apalagi mencerna kata-katamu yang terlalu tinggi dan tak ingin terjatuh.
Cita-cita kita terlalu baik untuk dirubuhkan dengan kata nikah di usia sekarang.
Iman kita terlalu lemah untuk di cairkan dengan berkhalwat.
Pahala kita terlalu sedikit untuk di habiskan dengan dosa yang tak terasa.
Impian untuk menyegerakan kehalalan, memang tak salah.
Siapa yang menyalahkan? Tak ada.
Hanya akulah yang ingin mencoba untuk tetap fokus pada satu titik.
Jika aku sudah mencapai titik itu, bolehkan aku untuk berpindah pada titik-titik kehidupan yang lain?
Menyusun titik demi titik aku hidup di dunia untuk membangun kehidupanku yang indah di akhirat sana.

Aku tak pernah menyalahkanmu, akhi.
Karena kehadiranmu, semua hancur berantakan.
Ini hanya cobaan yang Allah berikan padaku.
Sekuat apa aku untuk mengatasinya?

Bukan sok suci aku membuat ini.
Sebagai akhwat yang baik, aku segera menyadarkan diri.
Sesholehah apa aku sampai berani berkata seperti ini? Bahkan sepersennya Fathimah radiallahu anh pun tidak.
Secerdas apa aku hingga aku bisa menaruh kalimat-kalimat ini? Sepersekiannya Aisyah radiallahu anh pun tidak.
Lalu apa yang pantas aku banggakan?
Keilmuanku hanya sedikit sekali, bahkan satu garam di lautan pun tidak.
Maka aku akan memintamu untuk membimbingku kelak, wahai akhi.

Banyak yang bingung dengan status kita.
Tak perlu ada status!
Dalam Islam rahmatan lil’aalamin memang sangat mengharamkan pacaran.
Berkedok kekasih tetapi berlaku sudah layaknya suami-isteri.
Sekali pun tidak, mereka rajin berkhalwat dan menumpuk dosa hingga mengundang nyalanya api neraka.
Kau jaga aku, maka aku akan menjagamu.
Menjaga agar tidak sama seperti mereka.

Saat melihat yang lain bergaul tanpa batas dengan lawan jenis,
terlebih mereka yang sama mengenakan pakaian taqwa.
Aku sedih melihatnya.
Apa aku harus seperti mereka?

Katamu, aku berbeda.
Sebagai yang beda, aku ingin membenarkan kata-katamu.
Aku ingin terlihat lebih nyata bahwa aku memang berbeda.

Aku..
Juga kau, akhi..
Meski berawal dari pertengkaran kita terpisah, bersualah kita dalam panjangnya do’a Rabithah.
Berdzikir dan memohon ampun saat Dia turun ke bumi-Nya di sepertiga malam terakhir.
Jika aku memang pantas untukmu, maka kejar dan gapailah keridhoan-Nya!
Namun jika Rabbku ingin yang lebih baik untukmu, maka jangan bersedih, akhi.
Izinkan aku menikah tanpa pacaran dan berkhalwat. Karena keduanya sungguh membunuh dan melululantakkan pikiran dan cintaku pada-Nya..


= Purwakarta, 10 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar