Sabtu, 12 Desember 2015

SATURATION POINT || ChocoCandyGIRL's Note

                Saat seluruh problema kehidupan itu menumpuk di otakku yang hampir pecah karena memikirkannya, apa yang harus aku perbuat selain mengadu hanya pada-Nya? Menyimpannya sendiri dan jika ada waktu, menuliskannya dalam diary atau blogging. Membicarakan dan melepaskannya pada teman? Ha? Apa itu teman? Aku tidak tahu. Yang ku tahu, hidup di dunia ini tidak ada yang namanya “TEMAN”. Semua hanya saling terkoneksi satu sama lain layaknya jaringan partikel-partikel elektron yang ada dalam sebuah benda yang bernama TV.
                Inilah titik kejenuhanku terhadap kehidupan. Titik jenuhku yang mulai terasa pada seluruh aktivitas-aktivitas kehidupanku sehari-hari. Semua bukan berarti aku “bosan hidup dan ingin mati”. Justru aku merasakan ketakutan pada kematian jika aku harus mati saat ini juga. Aku sadar, kematian berjalan sekitar 60KM/jam menghampiri kehidupan manusia. Siap untuk mencabut dan mematikan sel-sel yang ada dalam tubuh manusia.
                Jika kau bertanya, mengapa tiba-tiba aku mengingat kematian? Jawabannya cukup simpel. Hanya karena semalam aku tertidur dan bermimpi mendapati orang-orang terdekatku meninggal. Aku memang tak melihat seorang lelaki asing yang ku sayangi tetapi, itu semua cukup untuk membuatku sadar bahwa kehilangan itu memang sangat-sangat menyakitkan. Di dalam mimpi itu, aku menangis, meratap. Aku memang tak menemukan sosok kedua orang tuaku atau kakekku satu-satunya tetapi, cukuplah dalam mimpi itu dadaku merasa sesak dan mataku memanas karena ingin menangis melihat adikku yang cerdas dan sholehah itu pergi. Aku ingat perkataanku pada adik pertamaku, ines, “Dut, jangan pergi! Kakak gak sanggup kalo harus berjuan sendirian untuk sukses. Kakak gak mampu kalo harus jadi sholehah sendiri tanpa ada bawelan dari ines. Dut, elo cerdas, masa elo Cuma meninggal aja sih?! Katanya mau jadi pengusaha? Ayo, dut, bangun! Kakak masih butuh ajaran MTK dari elo.” Ahh..baper! kenapa aku jadi nangis gini?! Kebayang, perasaan tadi malem kayak apa. Sedih. Astaghfirullah hal ‘adziim.
                Oke. Selesai sesi tangis-menangisnya :) lanjut ke selanjutnya.
                Berbicara tentang pertemanan. Yahh..aku rasa, hingga detik ini pun aku belum memiliki seorang sahabat spesial yang bisa ku ajak kesana-kemari dengan persamaan pemikiran, visi-misi, hobi, perasaan dan pengalaman. Dan yang paling penting, kesamaan untuk berhijrah bersama menuju keridhoan-Nya. BELUM ADA!
                Saat SMK dulu, aku berharap akan menemukan soulmate yang asyik dan bersahaja di lingkungan kuliah nanti. Tapi saat aku kuliah sekarang? Mana? Siapa soulmate itu? Gak ada, ghif. Itu kenapa aku tak mengenal yang namanya “TEMAN”. Padahal, aku sadar, keinginanku tak banyak untuk menemukan seorang sahabat terbaik dalam hidup. Hanya memiliki perasaan, visi-misi, hobi, pemikiran dan pengalaman yang sama sepertiku hingga jiwa kita bisa bersatu. Selain itu, aku menginginkan teman yang berjalan menyusuri lorong kampus menuju masjid hanya untuk melaksanakan sholat dhuha bersama. Di dalam masjid itu, kami membaca Al-Qur’an bersama. Dan saat waktunya mepet karena jadwal matkul yang berdekatan, kami lari dari tangga masjid hingga tangga kelas dan berjalan memasuki kelas yang sudah ada dosennya. Impian seorang sahabat untukku ialah dia yang memiliki kesamaan dalam membaca. Entah membaca novel, komik, atau buku-buku motivasi lainnya karena aku menyukai semuanya. Seorang sahabat yang aku impikan ialah dia yang berusaha untuk menjadi seorang akhwat fillah, aktivis dakwah dan mengajakku untuk masuk kedalamnya, berbaur dengan orang-orang sholeh-sholehah lainnya, seorang sahabat yang tidak ingin aku masuk kedalam organisasi/kegiatan yang tidak ada manfaatnya. Dan seabrek kritria sahabat pada umumnya(tidak ingin melihat sahabatnya menangis, tertawa bersama, berduka bersama, menjalankan aktivitas kuliah bersama, bahkan berlibur bersama, dll).
                Ingin ku katakan pada-Nya, “mencari sahabat dalam keridhoan-Mu itu susah, ya Rabb:’) ”.
                Setiap kali aku mendengar lagu nasyid melayu dari Brothers yang berjudul Teman Sejati, dadaku terasa sesak karena didalam liriknya, itulah simpul kriteria sahabat fillah yang kucari selama ini, aku belum menemukannya. Oke, belum. Sebagai seorang calon pendidik anak bangsa dan anak-anakku kelak, aku harus optimis. Jadi, BELUM.
                Jika aku mengingat relasiku dalam kampus, yaa mungkin belum terlalu banyak aku mengenal mahasiswa lainnya. Makhluk sejenisku ini sangatlah introvert. Hingga ada teman sekelasku yang bertanya dengan sindiran, “Ghif, kamu kok enak ya hidupnya, diem aja, kayak gak banyak beban. Kalo ada apa-apa, cerita aja sama temen lainnya kan, banyak. Jangan di pendem sendiri!” Dan akhirnya, dia mengakui kalau kata-kata awalnya memang benar-benar sindiran terhadap sikapku dikelas. Itulah kenapa aku tidak pernah berharap untuk bisa berjodoh dengan seorang yang introvert. Dan sejauh yang ku tahu, dia, seorang lelaki asing yang sangat ku sayangi karena-Nya adalah seorang yang ekstrovert. Everything we have are completely each others. ILYSM.
                Ngalor-ngidul kemana aja sampe ke dia -_- balik lagi ke topik.
                Belum lama ini, aku dekat dengan dua orang dari kelasku yang bernama Gina dan Veni. Aku rasa, akhir-akhir ini kami seperti tiga sejoli yang kompak dan kemana-mana harus bersama. Hingga kemarin aku menyadari bahwa Veni hanya menginginkan Gina, bukan Ghiffa, aku mulai mundur perlahan. Dan pada hari ini, yang biasanya kami duduk bertiga secara berdekatan, tetapi kali ini tidak. Orang yang pertama kali bertanya dan memintaku untuk duduk bertiga lagi ialah Gina. Entahlah. Ini adalah hal yang ku benci dari pertemanan tiga sejoli! Ini adalah alasan mengapa aku hanya ingin satu sahabat, karena ketiganya tidak akan pernah bersatu secara utuh, pasti saja ada teman yang “paling dekat”. Dan siang menuju sore ini, mereka mengirim SMS padaku, menanyakanku “kenapa?”. Terima kasih. Kalian masih peduli padaku. Pada manusia serba salah yang memiliki masalah yang banyak sepertiku:’)

                Actually, aku sayang sama mereka. Mereka yang baik, yang mau membantuku saat aku terjebak dalam masalah yang ku buat sendiri pada Ibu. Mereka yang baik, yang memberikanku tempat untuk sendiri di kostan Veni, dan disitu aku puas menangisi dan menyesali segalanya. Tetapi ada keganjalan yang menyangkut pada jiwaku tentang mereka, aku belum merasakan perasaan berhijrah bersama. Entahlah,padahal mereka juga dalam proses menuju perubahan. Aku hanya malu jika harus terus menerus menceritakan masalahku sehari-hari pada mereka, sedang Veni?  Hanya mau berbagi masalah pada Gina.  Ahh..! Akulah makhluk yang serba salah dan tak mau bersyukur itu. Iya, itu aku, Ghiffary Amanda Sastre.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar