Saat
seluruh problema kehidupan itu menumpuk di otakku yang hampir pecah karena
memikirkannya, apa yang harus aku perbuat selain mengadu hanya pada-Nya? Menyimpannya
sendiri dan jika ada waktu, menuliskannya dalam diary atau blogging. Membicarakan
dan melepaskannya pada teman? Ha? Apa itu teman? Aku tidak tahu. Yang ku tahu,
hidup di dunia ini tidak ada yang namanya “TEMAN”. Semua hanya saling
terkoneksi satu sama lain layaknya jaringan partikel-partikel elektron yang ada
dalam sebuah benda yang bernama TV.
Inilah
titik kejenuhanku terhadap kehidupan. Titik jenuhku yang mulai terasa pada
seluruh aktivitas-aktivitas kehidupanku sehari-hari. Semua bukan berarti aku
“bosan hidup dan ingin mati”. Justru aku merasakan ketakutan pada kematian jika
aku harus mati saat ini juga. Aku sadar, kematian berjalan sekitar 60KM/jam
menghampiri kehidupan manusia. Siap untuk mencabut dan mematikan sel-sel yang
ada dalam tubuh manusia.
Jika
kau bertanya, mengapa tiba-tiba aku mengingat kematian? Jawabannya cukup
simpel. Hanya karena semalam aku tertidur dan bermimpi mendapati orang-orang
terdekatku meninggal. Aku memang tak melihat seorang lelaki asing yang ku
sayangi tetapi, itu semua cukup untuk membuatku sadar bahwa kehilangan itu
memang sangat-sangat menyakitkan. Di dalam mimpi itu, aku menangis, meratap.
Aku memang tak menemukan sosok kedua orang tuaku atau kakekku satu-satunya
tetapi, cukuplah dalam mimpi itu dadaku merasa sesak dan mataku memanas karena
ingin menangis melihat adikku yang cerdas dan sholehah itu pergi. Aku ingat perkataanku
pada adik pertamaku, ines, “Dut, jangan pergi! Kakak gak sanggup kalo harus
berjuan sendirian untuk sukses. Kakak gak mampu kalo harus jadi sholehah
sendiri tanpa ada bawelan dari ines. Dut, elo cerdas, masa elo Cuma meninggal
aja sih?! Katanya mau jadi pengusaha? Ayo, dut, bangun! Kakak masih butuh
ajaran MTK dari elo.” Ahh..baper! kenapa aku jadi nangis gini?! Kebayang,
perasaan tadi malem kayak apa. Sedih. Astaghfirullah hal ‘adziim.
Oke.
Selesai sesi tangis-menangisnya :) lanjut ke selanjutnya.
Berbicara
tentang pertemanan. Yahh..aku rasa, hingga detik ini pun aku belum memiliki
seorang sahabat spesial yang bisa ku ajak kesana-kemari dengan persamaan
pemikiran, visi-misi, hobi, perasaan dan pengalaman. Dan yang paling penting, kesamaan
untuk berhijrah bersama menuju keridhoan-Nya. BELUM ADA!
Saat
SMK dulu, aku berharap akan menemukan soulmate yang asyik dan bersahaja di
lingkungan kuliah nanti. Tapi saat aku kuliah sekarang? Mana? Siapa soulmate
itu? Gak ada, ghif. Itu kenapa aku tak mengenal yang namanya “TEMAN”. Padahal,
aku sadar, keinginanku tak banyak untuk menemukan seorang sahabat terbaik dalam
hidup. Hanya memiliki perasaan, visi-misi, hobi, pemikiran dan pengalaman yang
sama sepertiku hingga jiwa kita bisa bersatu. Selain itu, aku menginginkan
teman yang berjalan menyusuri lorong kampus menuju masjid hanya untuk
melaksanakan sholat dhuha bersama. Di dalam masjid itu, kami membaca Al-Qur’an
bersama. Dan saat waktunya mepet karena jadwal matkul yang berdekatan, kami
lari dari tangga masjid hingga tangga kelas dan berjalan memasuki kelas yang
sudah ada dosennya. Impian seorang sahabat untukku ialah dia yang memiliki
kesamaan dalam membaca. Entah membaca novel, komik, atau buku-buku motivasi
lainnya karena aku menyukai semuanya. Seorang sahabat yang aku impikan ialah
dia yang berusaha untuk menjadi seorang akhwat fillah, aktivis dakwah dan
mengajakku untuk masuk kedalamnya, berbaur dengan orang-orang sholeh-sholehah
lainnya, seorang sahabat yang tidak ingin aku masuk kedalam organisasi/kegiatan
yang tidak ada manfaatnya. Dan seabrek kritria sahabat pada umumnya(tidak ingin
melihat sahabatnya menangis, tertawa bersama, berduka bersama, menjalankan
aktivitas kuliah bersama, bahkan berlibur bersama, dll).
Ingin
ku katakan pada-Nya, “mencari sahabat dalam keridhoan-Mu itu susah, ya Rabb:’)
”.
Setiap
kali aku mendengar lagu nasyid melayu dari Brothers yang berjudul Teman Sejati,
dadaku terasa sesak karena didalam liriknya, itulah simpul kriteria sahabat
fillah yang kucari selama ini, aku belum menemukannya. Oke, belum. Sebagai
seorang calon pendidik anak bangsa dan anak-anakku kelak, aku harus optimis.
Jadi, BELUM.
Jika
aku mengingat relasiku dalam kampus, yaa mungkin belum terlalu banyak aku
mengenal mahasiswa lainnya. Makhluk sejenisku ini sangatlah introvert. Hingga
ada teman sekelasku yang bertanya dengan sindiran, “Ghif, kamu kok enak ya
hidupnya, diem aja, kayak gak banyak beban. Kalo ada apa-apa, cerita aja sama
temen lainnya kan, banyak. Jangan di pendem sendiri!” Dan akhirnya, dia
mengakui kalau kata-kata awalnya memang benar-benar sindiran terhadap sikapku
dikelas. Itulah kenapa aku tidak pernah berharap untuk bisa berjodoh dengan
seorang yang introvert. Dan sejauh yang ku tahu, dia, seorang lelaki asing yang
sangat ku sayangi karena-Nya adalah seorang yang ekstrovert. Everything we have
are completely each others. ILYSM.
Ngalor-ngidul
kemana aja sampe ke dia -_- balik lagi ke topik.
Belum
lama ini, aku dekat dengan dua orang dari kelasku yang bernama Gina dan Veni.
Aku rasa, akhir-akhir ini kami seperti tiga sejoli yang kompak dan kemana-mana
harus bersama. Hingga kemarin aku menyadari bahwa Veni hanya menginginkan Gina,
bukan Ghiffa, aku mulai mundur perlahan. Dan pada hari ini, yang biasanya kami
duduk bertiga secara berdekatan, tetapi kali ini tidak. Orang yang pertama kali
bertanya dan memintaku untuk duduk bertiga lagi ialah Gina. Entahlah. Ini
adalah hal yang ku benci dari pertemanan tiga sejoli! Ini adalah alasan mengapa
aku hanya ingin satu sahabat, karena ketiganya tidak akan pernah bersatu secara
utuh, pasti saja ada teman yang “paling dekat”. Dan siang menuju sore ini,
mereka mengirim SMS padaku, menanyakanku “kenapa?”. Terima kasih. Kalian masih
peduli padaku. Pada manusia serba salah yang memiliki masalah yang banyak
sepertiku:’)
Actually,
aku sayang sama mereka. Mereka yang baik, yang mau membantuku saat aku terjebak
dalam masalah yang ku buat sendiri pada Ibu. Mereka yang baik, yang
memberikanku tempat untuk sendiri di kostan Veni, dan disitu aku puas menangisi
dan menyesali segalanya. Tetapi ada keganjalan yang menyangkut pada jiwaku
tentang mereka, aku belum merasakan perasaan berhijrah bersama.
Entahlah,padahal mereka juga dalam proses menuju perubahan. Aku hanya malu jika
harus terus menerus menceritakan masalahku sehari-hari pada mereka, sedang
Veni? Hanya mau berbagi masalah pada
Gina. Ahh..! Akulah makhluk yang serba
salah dan tak mau bersyukur itu. Iya, itu aku, Ghiffary Amanda Sastre.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar