“Maaf,
Din. Aku harus pergi”
“Tidddaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk................................................!!!!!!!!!!”
Itulah
percakapan mereka terakhir kalinya, pertemuan yang berakhir dengan airmata dari
keduanya. Dan pergilah....
***
Hilang sudah canda tawa kebahagiaan dari
Chocky. Setelah 2th lebih mereka pacaran, kini sifat Chocky berubah drastis 380
derajat. Tak lagi ia selalu bersama dengan Dinda. Dulu, tak ada kegiatan apapun
yang tidak mereka lakukan bersama, setiap saat. Kesetiaan membuat kisah mereka
tak pernah ada kata RAPUH, atau sekedar marahan. Salah satunya selalu saja
bergantian untuk mengalah. Karena mereka tahu, bila tak begitu, hubungan ini
akan segera berakhir. Banyak yang bilang, mereka berdua serasi. Bak perahu
tanpa air takkan pernah bisa berjalan, mereka selalu beriringan.
Ya, di usia Chocky yang mulai beranjak
meninggalkan masa remaja, dan kini sudah bekerja disebuah perkantoran yang
cukup megah. Beda dengan Dinda, dia kini masih duduk di bangku kuliah semester
2. Harapan mereka, hingga menikah nanti, saling berdampingan satu sama lain,
dan bahagia. Namun semua kandas ditengah jalan, ketika Dinda tahu dan merasa
bahwa sikap Chocky berubah. Tak lagi perhatian, menuruti keinginannya untuk
bertemu, bermain bersama, hilang.
***
14 Maret. Tepat hari ini,
usia pacaran mereka 3th. Tak ada yang spesial. Chocky tetap tak beri kabar pada
Dinda. Dinda bertanya-tanya sendiri, apa ia masih dianggap sebagai kekasih yang
di cintainya? Namun pertanyaan itu tak pernah ia lontarkan pada Chocky, takut
kalau-kalau ia akan marah. Dan pertanyaan yang terus terputar secara otomatis
di otak Dinda tak pernah terjawab. Hingga sore itu pun, Dinda datang kerumah
Chocky. Biar saja, Dinda tak peduli dengan reaksi Chocky nanti.
“Permisi, Chocky nya ada?” tanya Dinda saat ada seorang anak
didepannya, kira-kita baru kelas 2 SMP. Mungkin adik ini yang di maksud Chocky
pada setiap cerita harinya, batin Dinda.
“Oh, tidak ada kak. Maaf!” jawab anak itu singkat, yang segera
menutup pintu rumah dengan sedikit keras.
“Oh, ya ampun! Keras sekali” batin Dinda kaget, seraya mengelus-elus
dada. Segera ia pergi dengan hati kecewa. Tak bisa ia bendung air mata itu.
Mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi. Dan
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrgggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.....................................................................................................................................................................................................
Truk besar telah ditabrak mobil Dinda, dan terkaparlah dengan
segenap darah yang terus mengalir dari hampir setiap sudut tubuhnya. Entah
bagaimana itu kejadiannya, tadi Dinda sungguh tak bisa mengendalikan rasa
kecewa dan rindunya ia pada Chocky. Segera ia dibawa oleh warga setempat ke rumah
sakit.
***
Sudah hampir 2 minggu
Dinda tak sadarkan diri. Ia begitu lemah, dengan banyaknya perban yang
terpasang sana-sini, kepala pun tak luput masih banyak bercak merah itu. Orang
tuanya dari Medan, segera datang menemui anaknya, yang memang jauh, kuliah di
kota Keraton Yogya. Sedih sekali rasanya melihat anak semata wayangnya itu
sakit, ikut merasakan. Ibunya tak henti jua menangis.
Tepat ke-3 minggunya Dinda
tak sadarkan diri. Chocky tetap tak menjenguk Dinda. Sudah berkali-kali
teman-teman Dinda hilir-mudik untuk menjenguknya. Tapi tak ditemukan sosok
Chocky oleh kedua orang tua Dinda. Kekasih yang selalu ia banggakan pada setiap
cerita kabar pada orang tuanya.
Entah darimana itu. Suatu
malam, Dinda bermimpi, dan mengigau memanggil-manggil nama Chocky. Sentak orang
tua Dinda kaget dan menggerak-gerakkan tubuh Dinda namun tetap saja nama itu di
panggil, dan Dinda tak sadarkan diri. Kembali lagi ia pingsan dan tertidur
pulas. Sedih benar kedua orang tuanya.
Tepat minggu ke-4, Chocky
baru datang ke rumah sakit, ingin menjenguk Dinda. Walau dengan berat hatinya
ia melangkah. Entah karena apa. Biar sudah sebulan, Dinda belum juga sadarkan
diri. Sekarat mungkin bila dikata orang-orang umum. Antara hidup dan mati.
Setengah nyawa sedang berada di alam sana.
Sesampainya Chocky di rumah
sakit, dengan refleks ia berlari ke kamar Dinda. Dan saat sampai di depan
pintu, tanpa ragu ia buka dengan cepat, dan segera memeluk Dinda. Ia menyesal
sekali. Dinda sudah 4 minggu di rumah sakit, dan tak sadarkan diri. Tapi
mengapa ia masih saja memikirkan dirinya sendiri agar Dinda dapat membencinya.
Selamanya. Karena penyakit di tubuhnya secara perlahan membunuh jiwa dan
raganya.
“Dindaaaaaaaaaa................. maafkan aku, Din! Kenapa kamu bisa
kayak gini?” tangis Chocky memeluk, seraya mengguncang kecil tubuh Dinda.
Satu jam kemudian.
Pelukkan itu lemah, melemas, dan akhirnya Chocky tertidur dengan posisi kepala
di samping tangan Dinda. Pulas. Mungkin lelah karena selama satu jam tadi
Chocky menangis menyesali perbuatannya.
***
“Chocky... Chocky... jangan pergi! Jangan tinggalin aku sendirian,
Choc! Aku rapuh.” Dinda kembali mengigau. Perlahan mata Chocky terbuka.
“Din..Dinda! Bangun, Din! Aku disini, sayang.” Saut Chocky
Perlahan mata Dinda melihat dunia. Kelam..putih seluruhnya.
“Aku dimana?” tanya Dinda dengan suara lirih
“Kamu dirumah sakit, sayang. Maafin aku ya, Din.” Penyesalan Chocky
terus membuntuti. “Gimana ceritanya, Din? Kamu kok bisa, ya ampun..sampai
berdarah sana-sini, sayang?” lanjut Chocky.
“Kamu kemana aja, Choc? Waktu itu aku kerumah kamu, karena aku tau,
hari itu adalah hari our anniversary 3 years. Gak ada kabar dari kamu. aku
berharap, kalau aku pergi ke rumah kamu, aku bakal temuin kamu. Tapi nyatanya,
adik kamu yang buka pintu. Terus dia jawab sesingkat mungkin bilang kamu gak
ada dirumah. Aku sedih, Choc. Aku kecewa! Apa kamu gak...”
Penjelasan Dinda belum
berakhir. Namun segera ditutup dengan sentuhan lembut jari telunjuk Chocky. Ia
cukup. Cukup pedih, dan air mata itu keluar mendengar penjelasan Dinda.
Bersalah..sekali. Ia tak pernah maksud mencelakai Dinda, sebagai kekasihnya.
Namun apalah daya? Takdir secara perlahan membuat darah Dinda tumpah ruah di
jalanan. Dan tak hanya itu. Sungguh menyedihkan.
“Choc...” panggil Dinda lembut.
“Iya. Kenapa, Din? Kamu mau apa, sayang?”
“Tolong lihat kakiku, Choc. Aku merasa tidak enak.”
Dan betapa terkejutnya Chocky. Kaki kiri kekasihnya itu telah di
amputasi. Karena tulang keringnya telah patah terjepit pintu mobil depan, yang
mengakibatkan darah keluar tak henti-hentinya.
Kembali lagi air mata penyesalan mengalir membentuk anak sungai
dipipi Chocky.
“Kenapa, Choc? Kakiku hilang?” Dinda bertanya seraya mengerutkan
kening.
“Maafkan aku, sayang. Maafkan aku! Andai saja aku keluar saat itu.
Dan tiba waktunya kau pulang. Aku mengantarmu seperti biasa. Maafkan aku, Din!”
dengan nada keras, Chocky melanjutkan “Hukum aku! Hukum sesuka hatimu! Aku
menyesal karena aku telah bersalah.”
Ditengah isak tangis Chocky. Dinda pun tak kalah sedihnya dengan
tangis kekasihnya.
“Nggak! Kamu gak salah, Choc! Kemarilah...” minta Dinda dan
melambaikan jari-jari lentiknya. Chocky merespons lambaian tangan Dinda. Dan
mereka sama-sama merangkul.
***
Siang yang terik. Angin bersiul meniup debu-debu suci. Bersalah.
Membawa ketenangan untuk Dinda. Dengan adanya itu, Chcocky kini siap kembali seperti
semula. Menyisi disudut pundak Dinda, merangkulnya, menjadi perisai hidup sang
juliet. Ya, bahagialah. Hal yang tak pernah ingin mereka pisahkan.
“Aku bahagia. Selalu bahagia bersamamu, Din” kata pembuka Chocky seraya terus mendorong
kursi roda Dinda di taman
“Iya, Choc. Jangan pernah pergi dari hidupku lagi! Aku ga sanggup,
Choc!” sambut Dinda dengan senyum air mata
“Iya. Iya, sayangku Dinda”
Hari-hari mulai mereka jalani bersama. Tak ada rasa bosan, mungkin.
Bak bumi tanpa matahari dan bulan, takkan pernah hidup.
***
Benar. Chocky memenuhi janjinya. Ia temani Dinda kemanapun pergi
keluar rumah. Walau kini, kaki Dinda tak sesempurna dulu lagi. Tapi kesetiaan
tetap terjaga dengan adanya cinta sejati. Tak lelah ia ikuti kemahuan Dinda.
Ya, laki-laki sempurna!
Chocky sangat tahu betul, bahwa umurnya tinggal 2 bulan lagi. Tak
tahu cara agar Dinda membencinya . Malam ketika itu, dia tidak tidur. Tetap
terjaga dalam pikiran liarnya.
“Dinda, maafkan aku..”
***
Pagi buta. Seperti biasa, Dinda tanyakan keadaan Chocky lewat pesan
singkat.
Pesan pertama, tak dibalas. Kedua pun sama. Ketiga, keempat, dan
seterusnya. Sampai Dinda bertanya-tanya dan memilih untuk menelponnya. Namun
nihil. Sama saja, tak ada yang mengangkat teleponnya.
“Hahh...bingung aku! Harus gimana lagi?” desah Dinda lemas “Kamu
kenapa lagi sih, Choc? Kenapa? Apa aku udah ga sesempurna dulu lagi? Aku
buruk!”
“Kenapa, nak? Jangan salahkan diri sendiri! Coba lagi kau hubungin
kekasihmu itu. Mungkin tadi dia sedang mandi, atau sarapan mungkin.” Bantah
Bunda Dinda yang menghampiri dan memeluk Dinda dari belakang.
Udara menyesak. Merasuk setiap dinding paru-paru Dinda. Lelah sekali
ia jalani kehidupan ini. Semua karena cinta dihatinya tak pernah hilang, rapuh,
atau goyah sekalipun.
***
Selama sebulan terakhir ini, dengan sabar Dinda kabar sang pemimpin
kerajaan hatinya. Sms, atau sekedar telpon saja tak pernah dibalas. Sebenarnya,
ia sangat kesal! Ingin sekali rasanya ia memukul, membuat Chocky menangis atas
perbuatannya dulu.
“Mana, Choc? Mana janjimu ketika ditaman rumah sakit? Ketika awal
kita bersatu? Kau kata ingin jadi pemimpin aku dan anak-anakku kelak? Aku gak
bisa terus begini, Choc! Letih aku!” rintih Dinda
“Mengertilah, kasih..” sedikit senandung Dinda
***
Tepat 2 bulan. Tanpa berpikir panjang, Dinda langsung mamanggil sang
sopir untuk mengantarnya ke bandara Medan dan segera terbang ke Yogyakarta. Tak
bisa lagi ia tahan keinginan ini. Terlalu lama.
Setelah sampai komplek perumahan yang ditempati Chocky dan sudah
berada di pintu rumah keluarga Chocky, Dinda terkejut sekali. Tak di sangka,
kini ia melihat jasad tak berdaya sedang berbaring dihadapannya, dan segera
menghampiri. Banyak orang melihatnya aneh.
“Choc..Chocky! Bangun, Choc! Aku disini! Aku Dinda Lizzy, kekasihmu.
Huhuhuhu” tangis Dinda membuncah hebat. Sungguh tak terima ia kini harus
sendiri. Gila rasanya bila ia hatus kehilangan orang pertama dihatinya. Selalu
ia puja. Dan perpisahan ini tak pernah ia bayangkan.
“Kak, maaf kak!” sapa Desta, adik Chocky. “Maaf, kak. Kak Chocky gak
pernah kasih tau tentang penyakit kanker otak yang menghabisi hidupnya. Selama
ini, kak Chocky gak kasih kabar ke kakak, karena dia mau kakak benci kak Chocky.
Dengan cara begitu, kakak gak akan terlalu sedih seperti ini. Seperti yang
kakak lakuin sekarang.” Jelas Desta panjang lebar.
“Salah, Dest! Salah besar pikiran dia! Nggak! Dengan cara begitu,
aku sangat sedih. Aku memang mulai kesal dengan sikapnya yang tak pernah balas
pesan atau teleponku, sejak aku pulang bersama orang tua ke Medan. Tapi rasa
cinta ini...” elakkan itu terhenti karena tangisan yang tersendat-sendat di
tenggorokan Dinda. Ia sangat tak percaya.
“Mana kata orang kita bisa nikah? Jangan mati lah! Hampa aku, Choc!”
logat batak meliputi tangisan Dinda.
***
Setahun bayangan kebersamaan dengan Chocky, tak pernah hilang.
Benar-benar Dinda merasa kehilangan. Kini ia tak bisa tersenyum lapang atau pun
tertawa lepas seperti dulu, saat ada Chocky di dunia ini.
Chocky...
Sedang apa kau sekarang, sayang? Aku rindu masa-masa dulu. Aku
teringat saat kau katakan cinta dan berlutut padaku.
“Dinda, aku cinta sama kamu. Terima aku jadi pacar kamu. Tolong!
Tolong selamatin nyawa aku dengan cinta tulus darimu. Karena kalau tidak, aku
akan mati.”
Dan, aku balas dengan tawa. Aku anggap kau bercanda, Choc. Ternyata
kau benar-benar serius menyatakannya.
Choc..
Sampai saat ini. Aku belum bisa melupakanmu walau sedetik berlalu.
Padahal kejadian itu sudah setahun berjalan kau meninggalkan ku sendiri. Aku
belum temukan lelaki sepertimu. Terimaku apa adanya. Dengan kakiku yang hanya
tinggal satu ini. Aku ingin sekali menyusulmu di surga sana. Pasti kini kau
tengah menantiku di singgasana terindah yang telah Tuhan sediakan untuk kita.
Cinta dihatiku ini takkan pernah terhapus, lekang oleh waktu. Karena
kebahagiaanku hingga saat ini belum ku temukan. Kecuali saat aku bersamamu.
Bergurau penuh dengan tawa. Dan mata manismu masih kutatap dalam bayangan semu
mimpiku. Bahagialah, kasih! Aku sangat mencintaimu..
***
Republik – Biarkan Aku
Melihat Surga
Dinda, dengarkanlah!
Kini ku tak bisa denganmu lagi
Dinda, resah bila
Sudah tinggalkan semua kisah kita berdua!
Biarkanlah ku melihat surga
Di depanku.. ooo
Dan biarkanku mengatakannya, padamu
Pada dirimu ooo
Bahwalah aku..mencintaimu
Oh sungguh, sungguh mencintaimu
Dan tak ada, yang lain
Selain dirimu didalam hatiku..ooo
Dinda, iya..sudah
Aku pergi, untuk dirimu
Dinda, kini nafasku
Terakhir bagimu, terakhir untukmu ooo
Bahwalah aku..mencintaimu
Oh sungguh, sungguh mencintaimu
Dan tak ada, yang lain
Selain dirimu didalam hatiku oo
(Bahwalah aku, selalu ada disisimu ooo
Bawalah aku untuk terakhir kalinya)
Bahwa..aku mencintaimu
Oh sungguh, sungguh mencintaimu
Dan tak ada, yang lain
Selain dirimu didalam hatiku...oo
Created By:
Ghiffary Amanda Sastre
Senin, 4 Juni 2012
Pukul 23:52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar